MAQASHID PUASA
MAQASHID PUASA
(Penjelasan tentang maksud-maksud puasa)
Oleh: Khadim Markaz Al Hanifah
Maqoshid
jamak dari maksid yang artinya adalah maksud. Syariat yang diturunkan Allah subhanahu
wata’ala memiliki maksud-maksud, ibadah yang diperintahkan Allah subhanahu
wata’ala memiliki maksud-maksud, karena perintah Allah kepada hambanya
bukan hanya sekedar perintah kosong tanpa makna, atau tanpa hikmah, atau tanpa maksud yang mulia.
Sulthonul
ulama al imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan di dalam kitabnya bahwa maksud
dari semua ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah.[1] Begitu
juga dari syaikh Ahmad Abdussalam Ar Roisuny, ulama pakar ilmu maqoshid,
ketua persatuan ulama sedunia, menjelaskan dalam suatu muhadharah ilmu
maqoshid, bahwa maqoshid terbagi dua, maqoshid kulli dan maqoshid juz’i. Adapun
maqoshid kulli adalah maqoshid yang berlaku bagi semua ibadah, yaitu
mendekatkan diri kepada Allah, meraih rahmat Allah, dan lainya. Maka
termasuklah puasa, bahwa diantara maksud-maksud puasa adalah untuk mendekatkan
diri kepada Allah, sebagaimana yang dikatakan juga oleh syaikh Yusuf Al
Qordhowi di dalam kitabnya.[2]
Shiyam
jamak dari kata shaum yang artinya adalah puasa, sedangkan secara istilah
adalah menahan diri dari sesuatu yang
ditentukan, dilakukan oleh orang yang ditentukan, pada waktu yang ditentukan,
dengan syarat-syaratnya.[3] Atau,
puasa adalah menahan diri dari makan dan minum, dan hal-hal yang
membatalkannya, selama satu hari penuh, mulai dari terbit fajar hingga terbenam
matahari, dengan niat melakukan keta’atan dan mendekatkan diri kepada Allah azza
wa jalla.[4]
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ
مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa. QS. Al Baqoroh: 183
Rasulullah shallalluh ‘alaihi
wasallam bersabda:
عَنْ
عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى
خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Dari 'Ikrimah bin Khalid dari Ibnu
Umar berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Islam
dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan
sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji
dan puasa Ramadhan".[5]
Adapun
maqoshid juz’i atau hikmah dari puasa ini sangat banyak, yang pertama adalah: mensucikan
diri dengan keta’atan kepada Allah atas segala yang diperitahkannya dan
meninggal semua yang dilarangnya, dan melatih diri untuk menyempurnakan
ubudiyah kepada Allah subhanahu wata’ala. Jika begitu, maka diri akan
terhindar dari nafsu, dan terbebas dari godaanya. Apabila ia merasa ingin makan
dan minum, atau ingin bergaul dengan istrinya, walaupun tidak ada orang yang
tahu, tapi ia tetap meninggalkannya karena Allah subhanahu wata’ala.[6]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا
يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي
صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ
عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ
مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu; Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Shaum itu
benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor (rafats) dan
jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau
menghinanya maka katakanlah aku sedang shaum (ia mengulang ucapannya dua kali).
Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh bau mulut orang yang
sedang shaum lebih harum di sisi Allah Ta'ala dari pada harumnya minyak misik,
karena dia meninggalkan makanannya, minuman dan nafsu syahwatnya karena Aku.
Shaum itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan membalasnya dan setiap satu
kebaikan dibalas dengan sepuiluh kebaikan yang serupa".[7]
Yang
kedua: sesunguhnya dengan berpuasa akan dapat menjaga kesehatan badan,
sebagaimana kesaksian para dokter yang ahli pada bidang tersebut. Dan di dalam
berpuasa itu juga didapatkan bahwa, ketika seseorang berpuasa, artinya ia lebih
mendahulukan sisi ruhi dan pada sisi materi dirinya, karena manusia terdiri
dari dua unsur, yaitu unsur materi yang terbuat dari tanah, dan unsur ruhi yang
ditiupkan oleh Allah subhanahu wata’ala ke dalamnya, yang mana unsur
tanah itu membawa kepada derajat yang rendah, sedangkan unsur ruhi membawa
kepada derajat yang tinggi. Apabila unsur tanah lebih dominan baginya, maka
derajatnya menjadi rendah sampai kepada derajat hewan, dan itulah jalan yang
sesat. Namun apabila unsur ruhinya lebih dominan, maka derajatnya justru akan
naik dan meninggi sampai melebihi ketinggian derajat para malaikat. Dan puasa
menjadikan unsur ruhi lebih dominan atau lebih prioritas dari pada materi,
sehingga akal pun lebih dominan dari pada syahwat. Barangkali itulah yang
menjadikan seorang yang berpuasa merasa bahagia ketika ia berhasil
menyempurnakan puasanya hingga berbuka.[8]
Sebagaimana hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam:
لِلصَّائِمِ
فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
Dan untuk orang yang shaum akan
mendapatkan dua kegembiraan yang dia akan bergembira dengan keduanya, yaitu
apabila berbuka dia bergembira dan apabila berjumpa dengan Rabnya dia
bergembira disebabkan 'ibadah shaumnya itu.[9]
Yang
ketiga: puasa merupakan sarana untuk mentarbiyah hasrat keinginan, dan melatih diri
dalam menghadapi nafsu, membiasakan diri untuk bersabar, dan melawan hal-hal
yang disenangi nafsu. Adakah manusia tanpa keinginan? Adakah kebaikan tanpa
keinginan? Adakah agama tanpa kesabaran dalam keta’atan, atau kesabaran dalam
meninggalkan kemaksiatan? Dan puasa mencakup kedua kesabaran tersebut, sabar
dalam keta’atan dan sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Maka tidak heran jika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menamai bulan Ramadhan dengan
bulan kesabaran.[10]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ حَدَّثَنِي قُرَّةُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ
عَنِ الْأَعْرَابِيِّ قَالَ
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صَوْمُ شَهْرِ الصَّبْرِ
وَثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ يُذْهِبْنَ وَحَرَ الصَّدْرِ
“Telah menceritakan kepada kami
Waki' telah menceritakan kepadaku Qurrah bin Khalid dari Yazid bin 'Abdullah
bin Asy Syakhir dari seorang badui berkata: Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Puasa sebulan adalah kesabaran dan
(puasa) tiga hari setiap bulan menghilangkan kedengkian hati.”[11]
الصِّيَامُ
جُنَّةٌ
Shaum itu benteng[12]
Puasa
itu adalah benteng, maknanya adalah melindungi diri dari dosa-dosa di dunia,
dan dari api neraka di akhirat[13].
Atau juga bermakna melindungi diri dari azab Allah azza wa jalla[14]
Yang
ke empat: puasa membentengi diri dari godaan syahwat yang dapat menghilangkan
naluri kemanusiaan manusia, disamping itu dengan dikalahkannya syahwat maka
naluri manusia pun akan normal. Terkhusus bagi orang yang tekun melakukannya
dengan mengharapkan balasan dari Allah azza wa jalla. [15]
Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, siapa di
antara kalian yang telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, dan
barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih
bisa meredakan gejolaknya.”[16]
Yang
ke lima: dengan
berpuasa menjadikan seseorang lebih merasakan nikmat Allah subhanahu
wata’ala,beribu nikmat yang diberikan Allah kepada manusia tapi mereka
tidak menyadarinya, dan kenikmatan suatu nikmat itu baru terasa ketika kita
telah kehilangannya, apabila sesuatu itu telah hilang, barulah ia terasa
berharga.[17]
Sebagaimana
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ
عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
"Barangsiapa
di antara kalian di pagi hari aman ditengah-tengah keluarganya, sehat
jasmaninya, memiliki kebutuhan pokok untuk sehari-harinya, maka seakan akan
dunia telah dikumpulkan untuknya."[18]
Mungkin inilah yang kita rasakan,
ditengah pandemi virus corona ini kita merasakan nikmat yang dulu mungkin biasa
saja bagi sebagian besar manusia, kini menjadi nikmat yang berharga bagi
manusia. Oleh karena itu kita mesti banyak bersyukur atas pemberian Allah subhanahu
wata’ala, maka ramadhan hadir untuk mendidik kita agar kita menjadi hamba
Allah yang bersyukur dengan beramal dan berpuasa di bulan ramadhan.
Yang ke enam: puasa melatih jiwa
sensitivitas manusia terhadap sesama manusia lainya. Syaikh Ali Ash Shobuni
mengatakan di dalam kitabnya, bahwa puasa bukan hanya sekedar menjadikan
manusia menahan diri mereka dari makan dan minum, lebih dari itu dengan
berpuasa diharapkan kita lebih memiliki jiwa sensitivitas dengan saudara kita,
sehingga kita merasakan apa yang dirasakan oleh ssaudara-saudara kita, dan kita
pun turut membantu mereka dalam setiap kesusahan mereka, menghapus air mata-air
mata mereka, menghibur mereka dari kesedihan mereka, dan membantu mereka dengan
hal-hal yang bisa memperindah diri kita dengan kemuliaan yang diajarkan bulan
ramadhan kepada kita.[19]
Begitu juga yang diungkapkan syaikh
Yusuf Al Qardhawi di dalam kitabnya bahwa dengan berpuasa, menumbuhkan di dalam
diri orang-orang yang memiliki kelebihan harta dan orang-orang kaya, rasa
kepedulian terhadap orang-orang miskin dan orang-orang fakir. Sebagaimana yang
dikatakan oleh imam Ibnul Qoyyim: “dengan rasa lapar ketika berpuasa
mengingatkan kita dengan kondisi orang-orang miskin”. [20]
Dikisahkan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam
ketika ia sudah menjadi penguasa mesir, ia tidak pernah merasa kekenyangan
meski harta sudah berlimpah di sekelilingnya. Maka ada yang mengatakan
kepadanya: “engkau merasa lapar sedangkan ditangan mu ada dunia dan isinya?”,
maka Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjawab: “aku takut ketika aku kenyang,
aku melupakan orang-orang yang lapar”.[21]
[22]
[23]
[24]
[25]
Oleh
karena itu, dengan adanya Ramadhan ini sebagai pengingat setiap satu bulan
dalam satu tahun, yang mengingakan dan menyerukan manusia untuk berkasih
sayang, mengingatkan manusia bahwa di mata Allah azza wa jalla mereka semua sama, dan saling bersimpati
terhadap sesama. Maka bentuk kebersamaan yang paling baik di bulan Ramadhan ini
adalah dengan memberikan perbukaan kepada orang-orang yang berpuasa. [26]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
عَنْ
عَطَاءٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ
مِثْلُ أَجْرِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئً
“Dari 'Atho` dari Zaid bin Khalid Al
Juhani ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa, maka ia akan
mendapatkan pahala mereka tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.”[27]
Yang
ke tujuh: sesungguhnya puasa membawa seorang hamba kepada derajat taqwa.[28]
Berkata imam Ibnul Qoyyim: dengan
berpuasa memberikan pengaruh yang luar biasa dalam kesehatan tubuh dan kesehatan
batin, menjaganya dari bakteri-bakteri jahat yang masuk ke dalam tubuh,
mencegahnya dan mengeluarkannya dari tubuh, sehingga kesehatan tubuh tetap
terjaga. Maka dengan berpuasalah dapat menjaga kesehatan batin dan kesehatan
tubuh, juga menghilangkan rasa syahwat yang dapat merusak batin manusia. Dan ini
merupakan cara yang ampuh untuk mencapai derajat taqwa.[29]
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ
مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa. QS. Al baqoroh: 183
Maka Ramadhan merupakan bulan
tarbiyah, madrasah tahunan yang datang setiap tahun pada satu bulan, untuk
mendidik dan mentarbiyah manusia agar menjadi hamba Allah yang bertaqwa. Barangsiapa
yang berpuasa dengan benar, beribadah dan bertaqorrub kepada Allah selama Ramadhan,
maka ia telah sukses melewati ujian tarbawinya selama satu bulan, keluar dari
bulan ramadhan sebagai orang yang menang dan sukses, bersih dari dosa-dosa dan
kembali dalam keadaan fitrah. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Dari Abu
Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu”.[30]
Terutama di tengah pandemi virus
covid-19 yang melanda dunia saat sekarang ini, memang ramadhan tahun ini akan
terasa berbeda dengan ramadhan tahun-tahun sebelumnya yang telah kita lewati,
tapi jangan jadikan perbedaan yang mayoritas ibadahnya dilakukan di rumah
masing-masing justru membuat ubudiyah kita menurun, justru sebaliknya ubudiyah
kita kepada Allah semakin meningkat drastis. Sebab beribadah di bulan ramadhan,
ditambah dengan terjadi musibah yang
melanda, pahalanya justru akan berkali-kali lipat lebih banyak, belum lagi balasan
yang disediakan di bulan ramadhan yang sudah berlipat ganda, di tambah dengan
musibah yang melanda, apabila kita istiqomah dalam beribada di bulan ramadhan
ditambah dengan kondisi musibah yang kita hadapi sekarang ini, in syaa Allah
pahala dan balasannya lebih dilipat gandakan lagi oleh Allah azza wa jalla, karena
kata para ulama semakin genting kondisi seseorang dalam beribadah, maka semakin
banyak fadhilah dan pahala yang didapat.
Sebagaiman kaedah fiqh yang tulis
imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuhti di dalam kitab nya Al
Asybah Wan Nazair:
ما كان أكثر فعلا, كان أكثر فضلا
Semakin banyak pengorbanan dalam
beramal, maka semakin banyak keutamaannya.[31]
Begitu
juga di dalam kitab Al Mantsur Fii Al Qowaid Al Fiqhiyyah karya imam Az
Zarkasyi:
العمل: كلما كثر وشق كان أفضل مما ليس كذالك
Amalan yang semakin banyak memerlukan pengorbanan dan semakin sulit
lebih afdhal dari pada tidak seperti itu.[32]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أَوْ نَصَبِكِ
“namun
derajatnya tergantung pengorbanan dan tingkat kesulitanmu”.[33]
Bersambung....
[1]
Kitab Maqoshidul ibadah:
[2]
Kitab Fiqhus Shiyam, syaikh Yusuf Al Qordhawi: 9
[3] Kitab Kafayatul Akhyar: 204
[4] Kitab Fiqhu Shiyam, syaikh
Yusuf Al Qordhowi: 10
[5]
Riwayat Imam Al Bukhori, No.7
[6]
Kitab Fiqhus Shiyam: 12
[7] Riwayat
Imam Al Bukhori, No. 1761
[8]
Kitab Fiqhu Shiyam: 12-13
[9]
Riwayat Imam Al Bukhori, No. 1771
[10]
Kitab Fiqhus Shiyam: 13
[11]
Riwayat Imam Ahmad, No. 21992
[12]
Riwayat Imam Al Bukhori, No. 1761
[13]
Kitab Fiqhus Shiyam: 13
[14] Kitab
Maqoshidul Ibadah: 38
[15]
Kitab Fiqhus Shiyam: 14
[16]
Riwayat Imam Al Bukhori, No: 4677
[17] Kitab Fiqhus Shiyam: 14
[18] Riwayat Imam At Tirmidzi, No: 2268
[19] Kitab Rowaiul Bayan Tafsir Ayat Al
Ahkam, Syaikh Ali Ash Shobuni: 218/1
[20] Kitab Fiqhus Shiyam: 14
[21] Kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur an, Imam
Al Qurthubi, Tafsir Surat Yusuf (54-55), hal: 154
[22] Kitab Ma’alimut Tanzil, Imam Al
Baghowi, Tafsir Surat Yusuf (54-55), hal: 652
[23] Kitab Ad Dar Al Mantsur Fii At Tafsir
Bil Ma’tsur, Imam As Suyuthi, juz 8, , Tafsir Surat Yusuf (54-55), hal: 279
[24] Kitab Al Wasith Fii Tafsiril Qur anil
Majid, Imam Ali bin Al Wahidi An Naisabury, Tafsir Surat Yusuf (54-55), hal:
719
[25] Kitab Ruhul Ma’ani, Imam Al Alusy, Juz 13,
hal: 6
[26] Kitab
Fiqhus Shiyam: 15
[27] Riwayat
Imam Ibnu Majah, No. 1736
[28] Kitab
Fiqhus Shiyam: 15
[29] Kitab
Zadul Ma’ad, Imam Ibnul Qoyyim, hal: 29/2
[30] Riwayat Imam Al Bukhori, No: 37
[31] Kitab
Al Asybah Wan Nazair, Imam As Suyuthi, hal: 143
[32] Kitab Al Mantsur Fii Al Qowaid Al
Fiqhiyyah, Imam Az Zarkasyi, hal: 413/ 2
[33] Riwayat Imam Al Bukhori, No. 1662
Komentar
Posting Komentar