MAQASHID CINTA
MAQASHID CINTA
( Penjelasan tentang cinta dari kitab Al Hubbu Fil Qur an karangan
Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi)
Oleh: Khodim Markaz Al Hanifah
Membahas
soal cinta, tidak hanya membahas hubungan antara sepasang kekasih, bahkan lebih
sempitnya lagi pemahaman tentang cinta pada sebagian orang bahwa cinta hanya
ada pada sepasang kekasih yang berpacaran, ketika sudah menikah maka tidak ada
lagi cinta, atau dengan istilah yang lebih kasar, cinta hanya ada pada sepasang kekasih
haram, ketika sudah halal maka cintapun hilang. Tentu ini adalah pemahaman yang
salah, sesat lagi menyesatkan.
Persoalan
cinta bukan hanya membahas hubungan sepasang kekasih, apalagi sepasang kekasih
haram naudzubillah. Dalam islam ruang lingkup cinta sangat luas, dan
yang paling penting untuk dibenahi adalah cinta kita kepada Allah subhanahu
wata’ala. Agar cinta kita kepada Allah tumbuh mekar dan indah, hendaknya
kita mengenal dan menyadari cinta Allah azza wa jalla, karena diantara
sebab cinta kita kepada Rabb semesta alam tidak tumbuh dan tidak mekar adalah
karena kita tidak menyadari betapa indahnya cinta Allah azza wa jalla kepada
kita. Andai setiap manusia menyadari betapa cintanya tuhanya kepadanya, maka
pastilah mereka malu mendapati diri mereka bermaksiat kepada tuhanya yang maha
mulia. Akan tetapi ketika mereka tahu bahwa tuhan mereka mencintai mereka
tetapi masih bermaksiat kepadanya dan enggan untuk bertaubat kepadanya, bahkan
tidak peduli dengan kemaksiatan yang dilalukannya, sungguh ia tidak terlepas
dari sifat kurang ajar atas perbuatan yang dilakukannya.
Oleh
karena itu pembahasan utama yang dibahas oleh Syaikh Ramadhan Al Buthi di dalam
kitabnya Al Hubbu Fil Qur an adalah pembahasan tentang cinta Allah
kepada manusia. Didalam Al Qur an, ketika awal penciptaan manusia, Allah subhanahu
wata’ala memuliakan manusia dengan
memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadanya. Allah subhanahu
wata’ala berfirman:
وَإِذْ
قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ
أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَٰفِرِينَ
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah
mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir. QS. Al Baqoroh: 34
Imam Ibnu katsir menjelaskan di
dalam kitab tafsirnya[1],
bahwa perintah Allah kepada para malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam ‘alahissalam
merupakan kemulian yang besar bagi manusia. Adapun pendapat para ulama
mengenai malaikat yang turut bersujud kepada Nabi Adam ketika itu, apakah hanya
malaikat yang bertugas di bumi saja, atau keseluruhan malaikat?. Maka imam Ibnu
Katsir mengutip perkataan imam fakhruddin Ar Razi yang merajihkan keduanya
dengan menggabungkan kedua pendapat, bahwa keseluruhan malaikat-lah yang
bersujud kepada Nabi Adam ketika itu[2]
Sebagaimana firman Allah Azza wa jalla:
فَسَجَدَ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ كُلُّهُمْ
أَجْمَعُونَ / إِلَّآ إِبْلِيسَ أَبَىٰٓ أَن يَكُونَ مَعَ ٱلسَّٰجِدِينَ
Maka
bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama / Kecuali iblis. Ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang
sujud itu. QS. Al Hijr: 30-31
Adapun
sujud yang dilakukan para malaikat kepada Nabi Adam alaihissalam, bukanlah
sujud penyembahan, karena tidak ada yang
berhak disembah selain Allah azza wa jalla. Tapi sujud yang mereka lakukan
itu adalah sujud dalam bentuk keta’atan kepada Allah, karena Allah yang
memerintahkan mereka untuk melakukan itu, dan sujud untuk memuliakan Nabi Adam,
karena Allah –lah yang memuliakan Nabi Adam alaihissalam (Abul Basyar/ bapak manusia )
dengan memerintahkan para malaikatnya untuk bersujud kepada Nabi Adam alaihisssalam.[3]
Di ayat
yang lain Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ
وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ
خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. QS. Al Isra: 70
ٱللَّهُ
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً
فَأَخْرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلْفُلْكَ
لِتَجْرِىَ فِى ٱلْبَحْرِ بِأَمْرِهِۦ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلْأَنْهَٰرَ
Allah-lah yang
telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit,
kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi
rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu,
berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu
sungai-sungai. QS. Ibrahim: 32
Semua ayat-ayat Al Qur an yang mulia
ini menunjukkan kepada istimewanya dan mulia posisi manusia di sisi Allah Azza
wa jalla. Allah –lah yang memberikan mereka keistimewaan dan kemuliaan ini
kepada manusia dengan kehendaknya, tanpa harus manusia mencarinya terlebih
dahulu atau mengusahakannya. Maka dari ayat diatas kita memahami, bahwa manusia
dengan keistimewaan dan kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka, merupakan
keistimewaan dan kemuliaan yang sudah didapatkan manusia sejak sebelum mereka
dibebankan dengan syariat Allah subhanahu wata’ala.[4]
Dan tidak diragukan lagi, semua
keistimewaan dan kemuliaan yang diraih oleh manusia ini adalah bentuk dari pada
cinta Allah azza wa jalla kepada hambanya yang bernama manusia, karena
ia lah yang membuatnya dan menciptakannya, ditiupkan ruh kepadanya, diperintahkan
malaikat untuk bersujud kepadanya, dan ditundukkan untuknya semua
makhluk-makhluk yang ada disekitarnya.[5]
Sedangkan defenisi cinta menurut
syaikh Ramadhan Al Buthi adalah perasaan dimana seseorang itu cinta terhadap
sesuatu, yang ia senang apabila berada di dekatnya dan takut untuk jauh dari
padanya.[6]
Tentunya defenisi ini adalah
defenisi yang berlaku bagi manusia, dan tidak bisa dinisbatkan kepada Allah subhanahu
wata’ala. Karena tidak mungkin Allah yang maha suci dan maha sempurna
disifati dengan sifat seperti yang ada pada defenisi di atas, karena ialah
tuhan yang maha suci, maha sempurna, maha besar dan maha tinggi. Maka defenisi
diatas hanya berlaku untuk manusia. jika demikian, bagaimana kita memahami
cinta Allah subhanahu wata’ala?.
Syaikh Ramadhan Al Buthi menjelaskan
di dalam kitabnya Al Hubb Fil Qur an yang akan kami simpulkan disini
dari penjelasannya yang lumayan panjang. Cara kita memahami cinta Allah subhanahu
wata’ala adalah dengan tidak serta merta langsung mentakwilnya, karena ada
orang yang mentakwil cinta Allah itu dengan takrim, atau ridho, atau rahmat,
sedangkan setiap kata tersebut memiliki makna masing-masing yang tersendiri.
Dan tidak pula menyamainya dengan makna cinta yang berlaku pada manusia, akan
tetapi memahaminya dan meyakininya sebagaimana semestinya, sebagaimana kita
memahami tangan, mata, istiwa’ Allah subhanahu wata’ala yang ada di
dalam Al qur an, begitula pula kita memahami cinta Allah azza wa jalla.
Sebagaimana yang dikatakan imam Malik ketika ada orang yang
bertanya kepadanya mengenai istiwa’ Allah Azza wa Jalla:
الاستواء معلوم،
والكيف مجهول، والإيمانُ به واجِب، والسؤالُ عنه بدعة
Istiwa’ itu diketahui, bagaimananya tidak diketahui, iman kepadanya
wajib, bertanya tentang bid’ah.
Begitulah maksud syaikh
Ramadhan Al buthi dalam kita memahami cintanya Allah subhanahu wata’ala, cinta itu semua orang
tahu, bagaimana defenisi cinta Allah tidak diketahui, iman kepadanya wajib, bertanya
bagaimana defenisi cinta Allah bid’ah, serta tidak perlu terburu-buru langsung
mentakwil-takwilnya, apalagi dengan takwilan yang tidak mendasar, dan tidak
boleh menyamainya dengan manusia. karena Allah subhanahu wata’ala sudah berfirman di dalam Al Qur an:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. QS. As Syura: 11
وَلَمْ
يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ
Dan tidak ada seorangpun yang setara
dengan Dia. QS. Al
Ikhlas: 4
Oleh karena itu, takrim (mulia)
merupakan buah dari kecintaan Allah kepada manusia, karena Allah mencintai
manusialah, ia memuliakannya dan mengistimewakannya.[7]
Betapa besar cinta Allah kepada
hambanya, tapi hambanya yang sering kali tidak menyadarinya, sehingga ia
terjebak dalam kemaksiatan kepadanya, atau bahkan ada yang memang tidak ingin
dan tidak berusaha menyadarinya, sehingga ia membalas cinta yang begitu indah
dengan kemaksiata dan kemungkaran yang begitu keji yang dilakukannya. Maka
jangan heran jika orang-orang yang kufur kepada Allah akan dibalas dengan
siksaan yang sangat pedih.
Jika anda menyadari Allah –lah yang
paling mencintai anda dibandingkan apapun dan siapapun, bahkan diri anda
sendiri. Sejak awal penciptaan manusia, yang belum Allah perintahkan apapun
kepadanya, belum diwajibkan untuk melakukan kewajiban apapun, belum dibebankan
dengan tugas-tugas yang dibebankan sebagai manusia, Allah subhanahu wata’ala
sudah lebih dulu memuliakan hambanya sebelum itu semua.
Kemuliaan yang Allah berikan kepada
manusia tidak berhenti sampai di situ, kemuliaan ini akan bertambah dan akan
berkurang setelah Allah tunjuk kepada manusia tugas-tugas mereka selama hidup
di dunia, setelah Allah bebankan mereka dengan kewajiban-kewajiban yang harus
mereka tunai selama di dunia, tergantung kepada bagaimana mereka menyikapi
kewajiban yang Allah berikan kepada mereka.
Bagi orang-orang yang komitmen untuk
menjalankan perintah-perintah Allah subhanahu wata’ala, disiplin dan istiqomah
mereka dalam menjalankan kewajiban mereka sebagai hamba. Maka cinta Allah
kepada mereka akan bertambah, kemuliaan mereka pun meningkat yang sebelumnya
mereka sudah dapatkan dari Allah subhanahu wata’ala, meningkat dengan
kemuliaan tambahan yang mereka dapatkan atas kewajiban mereka yang mereka
tunaikan, atas ketundukan mereka terhadap semua yang diperintahkan Allah azza
wa jalla.
Adapun orang-orang ingkar kepada Allah,
enggan untuk menjalankan syariat Allah, mereka menyia-nyiakan cinta Allah subhanahu
wata’ala, dan menjerumuskan diri mereka sendiri kepada hukuman yang sudah
ditetapkan Allah subhanahu wata’ala, sebagai pengganti yang seharusnya
mereka dapatkan adalah tambahan cinta dan kasih sayang dari Allah subhanahu
wata’ala, tetapi karena mereka tidak komitmen dengan perintah Allah, enggan
untuk melakukannya, bahkan mengingkarinya, maka hukuman Allah lebih berhak
untuk mereka. [8]
قُلْنَا ٱهْبِطُوا۟ مِنْهَا جَمِيعًا
ۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّى هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَاىَ فَلَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Kami berfirman: "Turunlah kamu
semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang
siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka,
dan tidak (pula) mereka bersedih hati". QS. Al Baqoroh:38
وَٱلَّذِينَ
كَفَرُوا۟ وَكَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَآ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ
فِيهَا خَٰلِدُونَ
Adapun orang-orang yang kafir dan
mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya. QS. Al
Baqoroh:39
قَالَ
ٱهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًۢا ۖ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم
مِّنِّى هُدًى فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَاىَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
Allah berfirman: "Turunlah kamu
berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang
lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang
mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. QS. Thaha: 123
وَمَنْ
أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ
ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ
Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan
buta". QS. Thaha: 124
لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ
أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ / ثُمَّ رَدَدْنَٰهُ أَسْفَلَ سَٰفِلِينَ / إِلَّا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. / Kemudian
Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), / Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya. QS. At Tin: 4-6
Ayat-ayat Allah diatas sudah memberitahukan kepada kita kabar gembira bagi orang yang taat dengan perintah Allah, dan peringatan bagi orang-orang yang ingkar kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka posisikan diri kita sebagai orang-orang yang tunduk dan taat kepada Allah azza wa jalla, agar kelak kita mendapatkan surganya yang nyata, yang tiada bandingan dengan dunia yang kita miliki, yang tak pernah dilihat mata, yang tak pernah didengar telinga, dan tidak pula terbayangkan oleh manusia.
Ayat-ayat Allah diatas sudah memberitahukan kepada kita kabar gembira bagi orang yang taat dengan perintah Allah, dan peringatan bagi orang-orang yang ingkar kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka posisikan diri kita sebagai orang-orang yang tunduk dan taat kepada Allah azza wa jalla, agar kelak kita mendapatkan surganya yang nyata, yang tiada bandingan dengan dunia yang kita miliki, yang tak pernah dilihat mata, yang tak pernah didengar telinga, dan tidak pula terbayangkan oleh manusia.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا
خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS. Az Zariyat:
56
Al Imam Izzuddin bin Abdissalam
mengatakan di dalam kitabnya[9],
bahwa maksud dari ibadah yang dilakukan seorang hamba adalah untuk mendekatkan
diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka dengan kedekatan inilah kita
mendapatkan cinta Allah yang sempurna.
Apakah kita sebagai seorang muslim,
bisa mengatakan bahwa Allah mencintai kita? Dan apa tanda-tanda bahwa Allah subhanahu
wata’ala mencintai kita?
Ya, setiap muslim bisa dikatakan
bahwa Allah mencintainya, terutama muslim yang ta’at kepada Allah subhanahu
wata’ala, maka baginya kecintaan yang lebih, akibat keta’atannya kepada
Allah azza wa jalla. Dan hidayah yang Allah berikan kepada setiap orang
yang membawanya kepada islam, memeluk islam, dan menjadi seorang muslim, adalah
tanda bahwasanya ia mendapatkan cinta Allah subhanahu wata’ala (terlepas
dari banyak atau sedikit porsi cinta yang ia dapatkan).[10]
Cinta Allah kepada hambanya akan
bertambah sesuia dengan kualitas dan kuantitas ibadahnya kepada Allah, meskipun
para ulama mengatakan diantaranya Syaikh Yusuf Al Qardhowi mengatakan di dalam
kitabnya Fiqhul Awlawiyat bahwa kualitas ibadah lebih utama dari
kuantitasnya[11].
Maka setiap bertambahnya ubudiyah seorang hamba kepada Allah, ketika itu
bertambah jugalah cinta Allah kepadanya, baik dari sisi pelaksanaan
perintahnya, meninggalkan segala larangannya, selalu mendekatkan diri
kepadanya, dan banyak berdzikir kepadanya.
Rasulullah shallallahu ‘alahi
wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ
إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ
عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ
كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ
الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ
وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ
تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
Dari Abu
Hurairah menuturkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang
kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu
yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus
menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah, maka Aku mencintai dia,
jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk
mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang
ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau
ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti
Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi
pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang
mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia
merasakan kepedihan sakitnya."[12]
Barangkali ada yang yang bertanya,
kenapa dengan amalan sunnah menjadi sumber kecintaan Allah kepada hambanya,
sedangkan amalan wajib lebih penting dan barangkali lebih banyak pahalanya?
Maka Syaikh Ramadhan Al Buthi
menjawab: “Orang yang melakukan amalan wajib kebanyakan karena takut dengan
azab Allah yang sudah ditetapkan bagi orang yang meninggalkannya, sedangkan
orang yang melakukan amalan sunnah, tidaklah mereka melakukannya karena takut
dengan iqob, karena tiada iqob atau hukuman bagi yang meninggalkannya. Akan
tetapi ia adalah wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan
kecintaan Allah yang lebih, inilah maksud dari seorang yang melakukan amalan
sunnah.[13]
Sebagaimana juga dikatakan oleh
sulthonul ulama al imam Izzuddin bin Abdissalam di dalam kitabnya, bahwa
beramal karena keagungan dan kebesaran Allah lebih afdhal dari pada beramal
karena berharap sesuatu kepada Allah atau karena takut dengan hukumannya.[14]
Dikisahkan bahwa ada seorang
pembantu wanita sholehah yang bekerja di sebuah rumah, ia memiliki kebiasaan
bangun setiap malam untuk melaksanakan sholat malam. Pada suatu malam tuanya
mendengar doanya ketika ia sedang sujud: “ya Allah aku memohon kecintaan mu
pada ku, dan tambahkanlah kemuliaan ku dengan bertambahnya taqwaku kepadamu”,
begitu seterusnya sampai ia selesai berdoa, dan menyelesaikan sholatnya. Ketika
ia selesai melakasanakan sholatnya maka tuanya bertanya kepadanya: “dari mana
kamu tahu bahwa Allah mencintai mu?. Wanita itu menjawab: “wahai tuan ku,
kalaulah bukan karena kecintaan Allah kepada ku, maka aku tidak akan bangun
pada malam ini, kalaulah bukan karena kecintaan Allah kepada ku, maka aku tidak
akan mendirikan sholat yang baru saja aku lakukan ini, kalaulah bukan karena
kecintaan Allah kepada ku, maka aku tidak akan memohon seperti yang aku
mohonkan barusan ini.[15]
Membahas cinta Allah subhanahu
wata’ala adalah pembahasan yang menjadika hati ini bergetar, dan air mata
pun turut berlinang. Sungguh betapa besar cinta Allah kepada hambanya yang
tidak bisa diukur dengan apapun, juga takkan bisa dibalas dengan apapun. Tapi
setidaknya sebagai hambanya yang sangat dicintainya hendaknya kita membalas
cintanya dengan cinta, yang menjadi pertanyaan sudahkah kita mencintainya?
Adakah kita membalas cintanya dengan cinta? Atau bahkan kita balasnya cinta
yang mulia dengan kemaksiatan dan kemungkaran? Naudzubillah.
Jika kita bisa melihat hidup kita
dengan kacamata hikmah, maka akan didapati bahwa disetiap kejadian yang kita
alami ada cinta Allah azza wa jalla. Boleh jadi yang kita inginkan tidak
kita dapati, tapi yang terjadi justru sebaliknya yang tidak kita inginkan, jika
kita bisa melihat hikmah dibalik kejadian itu, maka sungguh anda akan melihat
cinta Allah ada disitu. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَعَسَىٰٓ
أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟
شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Diwajibkan atas kamu berperang,
padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui. QS. Al Baqoroh: 216
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ
نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ
يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Dari Abu Sa'id Al Khudri dan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam beliau bersabda: "Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu
penyakit dan keletihan, kehawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan
kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus
kesalahan-kesalahannya."[16]
Syaikh Ramadhan Al Buthi mengatakan:
“paling tidak untuk membuktikan betapa besarnya cinta Allah kepada kita, dengan
dimuliakannya kita dengan islam yang Allah berikan kepada kita, kalaulah bukan
karena kecintaan Allah kepada kita, maka kita tidak akan bisa merasakan
nikmatnya iman dan nikmat islam seperti yang kita rasakan sekarang ini, dan
kita memohon kepada Allah semoga Allah menambah cintanya kepada kita.[17]
[1] Kitab Tafsirul qur anil ‘adzim: 152
[2] Kitab Tafsirul Qur anil ‘Adzim: 158
[3] Kitab Tafsirul Qur anil ‘Adzim: 156, dan
kitab Al Hubb Fil Qur an: 15
[4] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 16
[5] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 17
[6] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 18
[7] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 21
[8] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 23
[9] Kitab Maqoshidul ibadah: 11
[10] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 30
[11] Halaman: 37
[12] Riwayat Imam Al Bukhori, No. 6021
[13] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 31
[14] Kitab Maqoshidul Ibadah: 27
[15] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 31
[16] Riwayat Imam Al Bukhori, No. 5210
[17] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 32
Komentar
Posting Komentar