MAQASHID CINTA


MAQASHID CINTA

( Penjelasan tentang cinta dari kitab Al Hubbu Fil Qur an karangan Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi)

Oleh: Khodim Markaz Al Hanifah

            Membahas soal cinta, tidak hanya membahas hubungan antara sepasang kekasih, bahkan lebih sempitnya lagi pemahaman tentang cinta pada sebagian orang bahwa cinta hanya ada pada sepasang kekasih yang berpacaran, ketika sudah menikah maka tidak ada lagi cinta, atau dengan istilah yang lebih kasar, cinta hanya ada pada sepasang kekasih haram, ketika sudah halal maka cintapun hilang. Tentu ini adalah pemahaman yang salah, sesat lagi menyesatkan.

            Persoalan cinta bukan hanya membahas hubungan sepasang kekasih, apalagi sepasang kekasih haram naudzubillah. Dalam islam ruang lingkup cinta sangat luas, dan yang paling penting untuk dibenahi adalah cinta kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Agar cinta kita kepada Allah tumbuh mekar dan indah, hendaknya kita mengenal dan menyadari cinta Allah azza wa jalla, karena diantara sebab cinta kita kepada Rabb semesta alam tidak tumbuh dan tidak mekar adalah karena kita tidak menyadari betapa indahnya cinta Allah azza wa jalla kepada kita. Andai setiap manusia menyadari betapa cintanya tuhanya kepadanya, maka pastilah mereka malu mendapati diri mereka bermaksiat kepada tuhanya yang maha mulia. Akan tetapi ketika mereka tahu bahwa tuhan mereka mencintai mereka tetapi masih bermaksiat kepadanya dan enggan untuk bertaubat kepadanya, bahkan tidak peduli dengan kemaksiatan yang dilalukannya, sungguh ia tidak terlepas dari sifat kurang ajar atas perbuatan yang dilakukannya.

            Oleh karena itu pembahasan utama yang dibahas oleh Syaikh Ramadhan Al Buthi di dalam kitabnya Al Hubbu Fil Qur an adalah pembahasan tentang cinta Allah kepada manusia. Didalam Al Qur an, ketika awal penciptaan manusia, Allah subhanahu wata’ala  memuliakan manusia dengan memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَٰفِرِينَ

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. QS. Al Baqoroh: 34

            Imam Ibnu katsir menjelaskan di dalam kitab tafsirnya[1], bahwa perintah Allah kepada para malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam ‘alahissalam merupakan kemulian yang besar bagi manusia. Adapun pendapat para ulama mengenai malaikat yang turut bersujud kepada Nabi Adam ketika itu, apakah hanya malaikat yang bertugas di bumi saja, atau keseluruhan malaikat?. Maka imam Ibnu Katsir mengutip perkataan imam fakhruddin Ar Razi yang merajihkan keduanya dengan menggabungkan kedua pendapat, bahwa keseluruhan malaikat-lah yang bersujud kepada Nabi Adam ketika itu[2] Sebagaimana firman Allah Azza wa jalla:

فَسَجَدَ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ / إِلَّآ إِبْلِيسَ أَبَىٰٓ أَن يَكُونَ مَعَ ٱلسَّٰجِدِينَ
Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama  / Kecuali iblis. Ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu. QS. Al Hijr: 30-31

            Adapun sujud yang dilakukan para malaikat kepada Nabi Adam alaihissalam, bukanlah sujud penyembahan, karena tidak ada yang  berhak disembah selain Allah  azza wa jalla. Tapi sujud yang mereka lakukan itu adalah sujud dalam bentuk keta’atan kepada Allah, karena Allah yang memerintahkan mereka untuk melakukan itu, dan sujud untuk memuliakan Nabi Adam, karena Allah –lah yang memuliakan Nabi Adam  alaihissalam (Abul Basyar/ bapak manusia ) dengan memerintahkan para malaikatnya untuk bersujud kepada Nabi Adam alaihisssalam.[3]
Di ayat yang lain Allah subhanahu wata’ala  berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.  QS. Al Isra: 70

ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً فَأَخْرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلْفُلْكَ لِتَجْرِىَ فِى ٱلْبَحْرِ بِأَمْرِهِۦ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلْأَنْهَٰرَ

Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. QS. Ibrahim: 32

            Semua ayat-ayat Al Qur an yang mulia ini menunjukkan kepada istimewanya dan mulia posisi manusia di sisi Allah Azza wa jalla. Allah –lah yang memberikan mereka keistimewaan dan kemuliaan ini kepada manusia dengan kehendaknya, tanpa harus manusia mencarinya terlebih dahulu atau mengusahakannya. Maka dari ayat diatas kita memahami, bahwa manusia dengan keistimewaan dan kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka, merupakan keistimewaan dan kemuliaan yang sudah didapatkan manusia sejak sebelum mereka dibebankan dengan syariat Allah subhanahu wata’ala.[4]

            Dan tidak diragukan lagi, semua keistimewaan dan kemuliaan yang diraih oleh manusia ini adalah bentuk dari pada cinta Allah azza wa jalla kepada hambanya yang bernama manusia, karena ia lah yang membuatnya dan menciptakannya, ditiupkan ruh kepadanya, diperintahkan malaikat untuk bersujud kepadanya, dan ditundukkan untuknya semua makhluk-makhluk yang ada disekitarnya.[5]

            Sedangkan defenisi cinta menurut syaikh Ramadhan Al Buthi adalah perasaan dimana seseorang itu cinta terhadap sesuatu, yang ia senang apabila berada di dekatnya dan takut untuk jauh dari padanya.[6]

            Tentunya defenisi ini adalah defenisi yang berlaku bagi manusia, dan tidak bisa dinisbatkan kepada Allah subhanahu wata’ala. Karena tidak mungkin Allah yang maha suci dan maha sempurna disifati dengan sifat seperti yang ada pada defenisi di atas, karena ialah tuhan yang maha suci, maha sempurna, maha besar dan maha tinggi. Maka defenisi diatas hanya berlaku untuk manusia. jika demikian, bagaimana kita memahami cinta Allah  subhanahu wata’ala?.
           
            Syaikh Ramadhan Al Buthi menjelaskan di dalam kitabnya Al Hubb Fil Qur an yang akan kami simpulkan disini dari penjelasannya yang lumayan panjang. Cara kita memahami cinta Allah subhanahu wata’ala adalah dengan tidak serta merta langsung mentakwilnya, karena ada orang yang mentakwil cinta Allah itu dengan takrim, atau ridho, atau rahmat, sedangkan setiap kata tersebut memiliki makna masing-masing yang tersendiri. Dan tidak pula menyamainya dengan makna cinta yang berlaku pada manusia, akan tetapi memahaminya dan meyakininya sebagaimana semestinya, sebagaimana kita memahami tangan, mata, istiwa’ Allah subhanahu wata’ala yang ada di dalam Al qur an, begitula pula kita memahami cinta Allah azza wa jalla.
           
             Sebagaimana yang dikatakan imam Malik ketika ada orang yang bertanya kepadanya mengenai istiwa’ Allah  Azza wa Jalla:
الاستواء معلوم، والكيف مجهول، والإيمانُ به واجِب، والسؤالُ عنه بدعة
Istiwa’ itu diketahui, bagaimananya tidak diketahui, iman kepadanya wajib, bertanya tentang bid’ah.

            Begitulah maksud syaikh Ramadhan Al buthi dalam kita memahami cintanya Allah  subhanahu wata’ala, cinta itu semua orang tahu, bagaimana defenisi cinta Allah tidak diketahui, iman kepadanya wajib, bertanya bagaimana defenisi cinta Allah bid’ah, serta tidak perlu terburu-buru langsung mentakwil-takwilnya, apalagi dengan takwilan yang tidak mendasar, dan tidak boleh menyamainya dengan manusia. karena Allah subhanahu wata’ala  sudah berfirman di dalam Al Qur an:
لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.  QS. As Syura: 11

وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. QS. Al Ikhlas: 4

            Oleh karena itu, takrim (mulia) merupakan buah dari kecintaan Allah kepada manusia, karena Allah mencintai manusialah, ia memuliakannya dan mengistimewakannya.[7]

            Betapa besar cinta Allah kepada hambanya, tapi hambanya yang sering kali tidak menyadarinya, sehingga ia terjebak dalam kemaksiatan kepadanya, atau bahkan ada yang memang tidak ingin dan tidak berusaha menyadarinya, sehingga ia membalas cinta yang begitu indah dengan kemaksiata dan kemungkaran yang begitu keji yang dilakukannya. Maka jangan heran jika orang-orang yang kufur kepada Allah akan dibalas dengan siksaan yang sangat pedih.

            Jika anda menyadari Allah –lah yang paling mencintai anda dibandingkan apapun dan siapapun, bahkan diri anda sendiri. Sejak awal penciptaan manusia, yang belum Allah perintahkan apapun kepadanya, belum diwajibkan untuk melakukan kewajiban apapun, belum dibebankan dengan tugas-tugas yang dibebankan sebagai manusia, Allah subhanahu wata’ala sudah lebih dulu memuliakan hambanya sebelum itu semua.

            Kemuliaan yang Allah berikan kepada manusia tidak berhenti sampai di situ, kemuliaan ini akan bertambah dan akan berkurang setelah Allah tunjuk kepada manusia tugas-tugas mereka selama hidup di dunia, setelah Allah bebankan mereka dengan kewajiban-kewajiban yang harus mereka tunai selama di dunia, tergantung kepada bagaimana mereka menyikapi kewajiban yang Allah berikan kepada mereka.

            Bagi orang-orang yang komitmen untuk menjalankan perintah-perintah Allah  subhanahu wata’ala, disiplin dan istiqomah mereka dalam menjalankan kewajiban mereka sebagai hamba. Maka cinta Allah kepada mereka akan bertambah, kemuliaan mereka pun meningkat yang sebelumnya mereka sudah dapatkan dari Allah subhanahu wata’ala, meningkat dengan kemuliaan tambahan yang mereka dapatkan atas kewajiban mereka yang mereka tunaikan, atas ketundukan mereka terhadap semua yang diperintahkan Allah azza wa jalla.

            Adapun orang-orang ingkar kepada Allah, enggan untuk menjalankan syariat Allah, mereka menyia-nyiakan cinta Allah subhanahu wata’ala, dan menjerumuskan diri mereka sendiri kepada hukuman yang sudah ditetapkan Allah subhanahu wata’ala, sebagai pengganti yang seharusnya mereka dapatkan adalah tambahan cinta dan kasih sayang dari Allah subhanahu wata’ala, tetapi karena mereka tidak komitmen dengan perintah Allah, enggan untuk melakukannya, bahkan mengingkarinya, maka hukuman Allah lebih berhak untuk mereka. [8]

            قُلْنَا ٱهْبِطُوا۟ مِنْهَا جَمِيعًا ۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّى هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَاىَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". QS. Al Baqoroh:38

وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَكَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَآ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. QS. Al Baqoroh:39

قَالَ ٱهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًۢا ۖ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّى هُدًى فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَاىَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. QS. Thaha: 123

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". QS. Thaha: 124

لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ / ثُمَّ رَدَدْنَٰهُ أَسْفَلَ سَٰفِلِينَ / إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. / Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), / Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. QS. At Tin: 4-6

            Ayat-ayat Allah diatas sudah memberitahukan kepada kita kabar gembira bagi orang yang taat dengan perintah Allah, dan peringatan bagi orang-orang yang ingkar kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka posisikan diri kita sebagai orang-orang yang tunduk dan taat kepada Allah  azza wa jalla, agar kelak kita mendapatkan surganya yang nyata, yang tiada bandingan dengan dunia yang kita miliki, yang tak pernah dilihat mata, yang tak pernah didengar telinga, dan tidak pula terbayangkan oleh manusia. 
             Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS. Az Zariyat: 56

            Al Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan di dalam kitabnya[9], bahwa maksud dari ibadah yang dilakukan seorang hamba adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka dengan kedekatan inilah kita mendapatkan cinta Allah yang sempurna.

            Apakah kita sebagai seorang muslim, bisa mengatakan bahwa Allah mencintai kita? Dan apa tanda-tanda bahwa Allah subhanahu wata’ala mencintai kita?
            Ya, setiap muslim bisa dikatakan bahwa Allah mencintainya, terutama muslim yang ta’at kepada Allah subhanahu wata’ala, maka baginya kecintaan yang lebih, akibat keta’atannya kepada Allah azza wa jalla. Dan hidayah yang Allah berikan kepada setiap orang yang membawanya kepada islam, memeluk islam, dan menjadi seorang muslim, adalah tanda bahwasanya ia mendapatkan cinta Allah subhanahu wata’ala (terlepas dari banyak atau sedikit porsi cinta yang ia dapatkan).[10]

            Cinta Allah kepada hambanya akan bertambah sesuia dengan kualitas dan kuantitas ibadahnya kepada Allah, meskipun para ulama mengatakan diantaranya Syaikh Yusuf Al Qardhowi mengatakan di dalam kitabnya Fiqhul Awlawiyat bahwa kualitas ibadah lebih utama dari kuantitasnya[11]. Maka setiap bertambahnya ubudiyah seorang hamba kepada Allah, ketika itu bertambah jugalah cinta Allah kepadanya, baik dari sisi pelaksanaan perintahnya, meninggalkan segala larangannya, selalu mendekatkan diri kepadanya, dan banyak berdzikir kepadanya.

            Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ

Dari Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah, maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya."[12]

            Barangkali ada yang yang bertanya, kenapa dengan amalan sunnah menjadi sumber kecintaan Allah kepada hambanya, sedangkan amalan wajib lebih penting dan barangkali lebih banyak pahalanya?

            Maka Syaikh Ramadhan Al Buthi menjawab: “Orang yang melakukan amalan wajib kebanyakan karena takut dengan azab Allah yang sudah ditetapkan bagi orang yang meninggalkannya, sedangkan orang yang melakukan amalan sunnah, tidaklah mereka melakukannya karena takut dengan iqob, karena tiada iqob atau hukuman bagi yang meninggalkannya. Akan tetapi ia adalah wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kecintaan Allah yang lebih, inilah maksud dari seorang yang melakukan amalan sunnah.[13]

            Sebagaimana juga dikatakan oleh sulthonul ulama al imam Izzuddin bin Abdissalam di dalam kitabnya, bahwa beramal karena keagungan dan kebesaran Allah lebih afdhal dari pada beramal karena berharap sesuatu kepada Allah atau karena takut dengan hukumannya.[14]

            Dikisahkan bahwa ada seorang pembantu wanita sholehah yang bekerja di sebuah rumah, ia memiliki kebiasaan bangun setiap malam untuk melaksanakan sholat malam. Pada suatu malam tuanya mendengar doanya ketika ia sedang sujud: “ya Allah aku memohon kecintaan mu pada ku, dan tambahkanlah kemuliaan ku dengan bertambahnya taqwaku kepadamu”, begitu seterusnya sampai ia selesai berdoa, dan menyelesaikan sholatnya. Ketika ia selesai melakasanakan sholatnya maka tuanya bertanya kepadanya: “dari mana kamu tahu bahwa Allah mencintai mu?. Wanita itu menjawab: “wahai tuan ku, kalaulah bukan karena kecintaan Allah kepada ku, maka aku tidak akan bangun pada malam ini, kalaulah bukan karena kecintaan Allah kepada ku, maka aku tidak akan mendirikan sholat yang baru saja aku lakukan ini, kalaulah bukan karena kecintaan Allah kepada ku, maka aku tidak akan memohon seperti yang aku mohonkan barusan ini.[15]

            Membahas cinta Allah subhanahu wata’ala adalah pembahasan yang menjadika hati ini bergetar, dan air mata pun turut berlinang. Sungguh betapa besar cinta Allah kepada hambanya yang tidak bisa diukur dengan apapun, juga takkan bisa dibalas dengan apapun. Tapi setidaknya sebagai hambanya yang sangat dicintainya hendaknya kita membalas cintanya dengan cinta, yang menjadi pertanyaan sudahkah kita mencintainya? Adakah kita membalas cintanya dengan cinta? Atau bahkan kita balasnya cinta yang mulia dengan kemaksiatan dan kemungkaran? Naudzubillah.

            Jika kita bisa melihat hidup kita dengan kacamata hikmah, maka akan didapati bahwa disetiap kejadian yang kita alami ada cinta Allah azza wa jalla. Boleh jadi yang kita inginkan tidak kita dapati, tapi yang terjadi justru sebaliknya yang tidak kita inginkan, jika kita bisa melihat hikmah dibalik kejadian itu, maka sungguh anda akan melihat cinta Allah ada disitu. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. QS. Al Baqoroh: 216

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Dari Abu Sa'id Al Khudri dan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kehawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya."[16]

            Syaikh Ramadhan Al Buthi mengatakan: “paling tidak untuk membuktikan betapa besarnya cinta Allah kepada kita, dengan dimuliakannya kita dengan islam yang Allah berikan kepada kita, kalaulah bukan karena kecintaan Allah kepada kita, maka kita tidak akan bisa merasakan nikmatnya iman dan nikmat islam seperti yang kita rasakan sekarang ini, dan kita memohon kepada Allah semoga Allah menambah cintanya kepada kita.[17]













































           























 









[1] Kitab Tafsirul qur anil ‘adzim: 152
[2] Kitab Tafsirul Qur anil ‘Adzim: 158
[3] Kitab Tafsirul Qur anil ‘Adzim: 156, dan kitab Al Hubb Fil Qur an: 15
[4] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 16
[5] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 17
[6] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 18
[7] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 21
[8] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 23
[9] Kitab Maqoshidul ibadah: 11
[10] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 30
[11] Halaman: 37
[12] Riwayat Imam Al Bukhori, No. 6021
[13] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 31
[14] Kitab Maqoshidul Ibadah: 27
[15] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 31
[16] Riwayat Imam Al Bukhori, No. 5210
[17] Kitab Al Hubb Fil Qur an: 32

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUJJATUL ISLAM AL IMAM AL GHAZALI

Pelajaran dari masa lalu