HUJJATUL ISLAM AL IMAM AL GHAZALI


HUJJATUL ISLAM AL IMAM AL GHAZALI

Oleh: Khadim Markaz Al Hanifah

            Siapakah imam Al Ghazali adalah pertanyaan yang tidak perlu dipertanyakan, mestinya semua orang tahu bahwa dia adalah seorang imam ahlussunnah wal jamaah, sebagaimana kita mengenal imam An Nawawi, sebagaimana kita mengenal imam Al Bukhori, sebagaimana kita mengenal imam Al Haramaian, sebagaimana kita mengenal imam Asy Syafi’I, begitulah kita mengenal imam Al Ghazali. Seorang imam ahlussunnah wal jamaah, ulama besar, ahli fiqh, ahli ushul fiqh, ahli filsafat, ahli tazkiyatun nafs, ahli ilmu kalam, ahli mantiq, ahli aqidah, imam ahlussunnah wal jamaah, bermazhab syafi’I, kitab-kitab karyanya sangat banyak, dibaca dan dikaji oleh semua orang dari berbagai belahan dunia.

            Imam Adz Dzahabi menyebutkan di dalam kitabnya Siyar Álam An Nubala’ [1] bahwa imam Al Ghazali digelari dengan Asy Syaikh Al Imam Al Bahr, Hujjatul Islam, Ajwibatuz Zaman, Zainuddin. Adapula yang menggelarinya dengan Al ‘Alim Al Auhad, Mufti Al Ummah, Barokatul Anam, Imam Aimmatuddin, Syarful Aimmah, Mujaddid, Muhyi Ulumiddin, semua ini adalah gelar-gelar yang sangat mulia, yang tidak akan ada orang yang mendapatkannya di zaman sekarang. 

            Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At Thusi, Asy Syafi’I, Al Ghazali. Imam Adz Dzahabi mengatakan: dia seorang yang memiliki banyak tulisan (kitab-kitab), dan memiliki kecerdasan yang tinggi.[2] Lahir pada tahun 450 hijriyah dan wafat pada tahun 505 hijriyah. 

            Imam Al Ghazali memiliki seorang ayah yang sholeh, ketika ayahnya akan meninggal beliau menitipkan anaknya ke temannya yang juga sholeh. Sejak kecil imam Al Ghazali sudah giat belajar, dimulai belajar agama di daerah asalnya, kemudian pindah daerah naisabur, belajar dengan seorang ulama besar yang di kenal dengan imam Al Haramain atau Abu Al Ma’ali Al Juwaini, yang merupakan seorang ulama besar pada masanya. Syaikh Ahmad Ar Raisuni mengatakan bahwa imam Al Haramain ini adalah Muassis atau pencetus pertama dari pemikiran ilmu maqoshid syariah, dari pemikiran imam Al Haramain inilah muncul ilmu maqoshid syariah, meskipun belum disempurnakan pada masanya, tetapi cikal bakal ilmu itu lahir dari pemikiran imam Al Haramain, yang diwarisi oleh muridnya imam Al Ghazali, hingga disempurnakan dan dikokohkan keilmuan tersebut oleh Al Imam Asy Syathibi. 

            Dibawah didikan imam Al Haramaian, imam Al Ghazali bisa mengusai ilmu fiqh dalam waktu yang singkat, ahli dalam berorasi, ahli dan berdebat, ahli dalam menulis, hingga gurunya pun takjud kepadanya. 

            Imam Al Ghazali adalah sosok ulama yang luar biasa, beliau sangat memperhatikan setiap detik waktu yang dilalui. Ia berkata: Janganlah kamu melalaikan waktu-waktu mu, dan di sibukkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, tapi hendaklah kamu memperhatikan waktu-waktumu, dan mengatur hidupmu dengan baik dan benar, serta jangan melanggarnya, sehingga kamu dapat merasakan berkahnya waktu, sedangkan orang yang melalaikan waktunya, tidak tahu apa yang dibuatnya, maka waktu akan hilang begitu saja”.[3]

Murid imam Al Ghazali, Muhammad bin Yahya berkata:  Al Ghazali adalah Asy Syafii ke dua.

Imam Al Haramain berkata: Al Ghazali memiliki ilmu yang luas seluas lautan.

Imam Tajuddin As Subuki berkata: Al Ghazali adalah Hujjatul Islam.

Berkata Al Hafiz Ibnu Katsir: Imam Al Ghazali adalah orang yang termasuk diantara orang-orang tercerdas di dunia pada setiap hal yang dibahasnya.
 
Berkata Ibnu An Najar: Abu Hamid Al Ghazali adalah imamnya para ahli fiqh, murabbi ummat, mujtahid pada zamannya, yang memiliki kecerdasan yang kuat.

Ibnu ‘Imad Al Hanbali: Imam Al Ghazali, salah satu orang yang paling berilmu, yang menulis buku-bukunya dengan kekuatan hafalan dan kecerdasannya yang tinggi, memiliki ilmu yang luas, secara keseluruhan tidak ada didapati seorang pemuda seperti imam Al Ghazali.

Abdul Ghafir bin Ismail Al Farisi: Abu Hamid Al Ghazali adalah hujjatul islam, imam para imam-imam agama, yang tidak dilihat mata orang sepertinya dalam lisannya, penjelasannya, ucapannya, gagasannya, kecerdasannya, dan akhlaqnya.

            Imam Al Ghazali juga mewariskan kepada ummat islam sejumlah kitab yang sangat banyak, yang ia tulis dengan tangan dalam berbagai bidang ilmu, diantaranya kitab Ihya ulumiddin, kitab yang membahas berbagai permasalahan agama, terutama dari sisi tazkiyatun nafs. Meski di dalam kitab ini terdapat banyak hadits-hadits dhaif, bahkan ada juga yang maudhu’, tetapi pelajaran, ‘ibrah, faedah di dalam kitab ini sangat banyak dan tidak bisa dinafikan. Sebagaimana yang dikatakan syaikh Yusuf Al Qordhowi[4]: banyak yang suka meringkas kitab ini (kitab Ihya’ Ulumuddin), dengan menyisakan ruh dan faedah-faedahnya, seperti faedah-faedah dalam keilmuwan dan pendidikan yang sangat banyak dan berlimpah di dalam kitab ini, dan menghapus sesuatu yang berlebih-lebihan dan hadits-hadits dhaif, atau yang dhaifnya terlalu kuat. Atau kita juga mendapatkan banyak kitab para ulama yang mensyarah kitab Ihya Ulumudin imam Al Ghazali, yang di dalamnya mereka menjelaskan hadits-hadits shahih dan hadits-hadits dhaif, diantara kitab yang ditulis oleh imam Al Hafiz Zainuddin Al ‘Iroqi.

Berkata imam Ibnu Taimiyah tentang kitab Ihya Ulumiddin imam Al Ghazali: sesungguhnya di dalam kitab itu, lebih banyak manfaatnya dari pada yang tidak diterima.[5]

            Adapun masalah hadits dhaif, jumhur (mayoritas) ulama membolehkan untuk mengamalkan hadits-hadits dhaif dalam hal fadhoil ‘amal, dengan beberapa syarat:
1.     Hadits tersebut tidak terlalu dhaif
2.     Hadits tersebut berada dibawah nash-nash yang asli dan tetap dalam pengamalannya
3.     Tidak meyakini kemantapan hadits tersebut, tapi perlu kehati-hatian
           
            Berkata imam Ibnu Katsir tentang kitab ‘Ihya Ulumuddin imam Al Ghazali di dalam kitabnya Al Bidayah wan Nihayah: kitab Ihya’ Ulumiddin adalah kitab yang bagus, yang mencakup berbagai macam ilmu syariat, yang dihubungkan dengan sesuatu yang halus dari sisi tasawwuf dan peran hati, akan tetapi di dalamnya terdapat banyak hadits ghorib, mungkar, maudhu’, sebagaimana juga didapat di dalam kitab lainnya yang membahas tentang halal dan haram, dan kitab Ihya’ lebih utama digunakan dalam hal tazkiyatun nafs, masalah hati, targhib dan tarhib, maka kitab ini lebih pas untuk membahas hal ini.[6] 
      
            Sebab banyaknya hadits-hadits dhaif di dalam kitab imam Al Ghazali adalah karena imam Al Ghazali tidak terlalu mendalami dalam ilmu hadits, sebagaimana yang dikatakan imam Ibnu Al Jauzy bahwa imam Al Ghazali, ia mengambil setiap hadits yang ia dapatkan tanpa menelusurinya terlebih dahulu, dan itu berdasarkan latarbelakang pendidikan imam Al Ghazali yang berguru kepada imam Al Haramain, dan fokus dalam mempelajari fiqh, ushul fiqh, mantiq, ilmu kalam, dan lainya.

            Meski begitu bukan berarti imam Al Ghazali menafikan dirinya untuk mempelajari hadits,  diakhir-akhir usianya, dia justru menyibukkan dirinya untuk mendalami ilmu hadits, membacanya, mempelajarinya, dan mengkajinya. Bahkan imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa imam Al Ghazali meninggal dalam sibuknya mempelajari hadits, terutama kitab-kitab shahih bukhari dan muslim. Ini membuktikan kecintaan imam Al Ghazali kepada islam, kepada ilmu-ilmunya, kepada sang pengajar ilmu shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kepada sang pemilik ilmu, sehingga seluruh usianya pun dia persembahkan hanya untuk berkhidmat kepada ilmu, taat kepada sang penganjar  ilmu, dan menghambakan dirinya kepada sang pemilik ilmu.

            Syaikh Yusuf Al Qordhowi mengatakan: barangkali dia menerima apa yang dia rasakan, maka dia akan memulai kembali dengan mempelajari hadits, berpegang kepada hadits shahih, dan petunjuk nubuwah, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

            Diantaranya juga, ada kitab Al Mustashfa, kitab ushul fiqh yang banyak dijadikan rujukan dalam permasalahan ushul fiqh, kemudian kitab Al Basith, Al Wasith, Al Wajiz, dalam permasalahan fiqh, bahkan imam An Nawawi sampai mengkhatamkan berkali-kali kita Al Wasith imam Al Ghazali, dan juga mensyarahnya. 

            Berkata Al Adfawy: “Kami membagikan kitab Al Wasith kepada imam An Nawawi, kemudian dia berkata: apakah kalian ingin membagikan kitab itu kepadaku? Sungguh aku telah membacanya sebanyak empat ratus kali.”

            Kitab Al Wasith adalah fiqh mazhab syafi’I yang ditulis imam Al Ghazali yang hidup sebelum masa imam An Nawawi. Ia memiliki banyak kitab-kitab yang ditulisnya, diantara karyanya yang fenomenal adalah kitab yang dibaca berulang kali oleh imam An Nawawi ini, bahkan imam An Nawawi juga menulis satu kitab yang berkenaan dengan kitab ini. Selain  Al Wasith imam Al Ghazali juga memiliki kitab lainya yang berkaitan dengan ilmu fiqh diantaranya kitab Al Basith dan  Al Wajiz. Ketiga kitab ini merupakan ringkasan dari kitab gurunya yaitu Nihayatul Mathlab fii Diroyatil Mazhab karya seorang ulama besar, gurunya imam Al Ghazali yaitu Al Imam Abu Al Ma’ali Al Juwaini atau dikenal dengan sebutan Al Imam Al haramain. Kitab ini diringkas oleh imam Al Ghazali dan diberi nama kitab  Al Basith,  kemudian diringkas lagi yang lebih ringkas dari kitab  Al Basith  dinamai kitab Al Wasith, kemudian imam Al Ghazali meringkas lagi dengan versi yang lebih ringkas lagi dengan dinamai kitab Al Wajiz. Kitab Al Wasith inilah dikatakan oleh imam An Nawawi kepada sahabatnya bahwa ia telah menghatamnya berulang kali karena imam An Nawawi merupakan ulama yang bermazhab Syafii dan kitab Al Wasith merupakan kitab fiqh mazhab imam As Syafii.

            Begitu juga imam Ar Rofi’i, memiliki kitab berjilid-jilid yang diberi nama Al ‘Aziz Fi Syarhi Al Wajiz, yaitu kitab yang mensyarah kitab Al Wajiz imam Al Ghazali. Begitu juga dengan ulama-ulama lainya, dari masa ke masa, yang banyak mempelajari, mengambil manfaat, mensyarah, mentahqiq, dan meringkas kitab-kitab karya imam Al Ghazali. Masih banyak kitab-kitab yang lain tentunya, yang telah ditulis dan diwarisi imam Al Ghazali kepada umat islam, yang tidak bisa disebutkan dan dijelaskan satu persatu.

            Dengan perjalanan keilmuwannya yang panjang, dengan kitab-kitabnya yang banyak, dengan gelar-gelarnya yang luar biasa, dengan pujian-pujian mulia yang dinisbatkan kepadanya, menunjukkan kepada keulamaan imam Al Ghazali yang luar biasa, dan keilmuwan yang dalam. Tapi mestilah setiap manusia memiliki kekurangan, yang mesti ia sempurnakan dengan terus belajar dan belajar, juga memiliki kesalahan, yang mesti ia perbaiki dan kembali kepada kebenaran. Begitulah hidup manusia, begitu juga hidup imam Al Ghazali, dan begitu pula semestinya kita hidup, karena manusia tak luput dari kesalahan.

            Syaikh Yusuf Al Qardhawi mengatakan di dalam kitabnya Al Imam Al Ghazali Baina Madihihi wa Naqidihi[7] : Imam Al Ghazali juga sama seperti tokoh-tokoh sejarah, dan tokoh-tokoh pemikir lainnya, mesti manusia memiliki sikap yang berbeda-beda dalam menyikapinya, ada yang memujinya dan adapula yang mengkritiknya. Sudah menjadi sunnatullah bagi ciptaannya, ada pujian dan ada kritikan, yang penting masih ada pada koridornya. Maka kita dapati ada orang-orang yang mengingkari sebagian kitab-kitabnya, atau sebagian pemahaman-pemahamannya, dan lain-lainnya dengan tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda.

            Diantara ulama-ulama yang mengkritik imam Al Ghazali adalah imam At Thurthusyi, imam Al Maziri, imam Ibnu Sholah, imam Ibnul Jauzy, imam Ibnu Taimiyah. Dan mereka juga merupakan ulama-ulama besar, dan yang paling penting, kritik mereka terhadap imam Al Ghazali bukan berdasarkan nafsu, akan tetapi kritik mereka terhadap imam Al Ghazali disebabkan karena perbedaan pandangan. Yang paling penting juga, yang mesti kita perhatikan dari kritik ulama terhadap imam Al Ghazali adalah dengan tidak menghilangkan kebaikan-kebaikan yang telah ia lakukan, bahkan mereka mengakui dan memuliakan keilmuan imam Al Ghazali, keluasan dan keutamaannya, sebagaiamana yang dijelaskan syaikh Yusuf Al Qordhowi di dalam kitabnya.

            Sebagaimana imam At Thurthusyi yang turut mengkritik imam Al Ghazali, tapi disatu sisi beliau juga memuji imam Al Ghazali, ia berkata: aku melihatnya (Al Ghazali) sebagai ahli ilmu, yang menggabungkan akal dan pemahaman, dan menjadikan seluruh hidupnya untuk khidmat terhadap ilmu.[8]

            Imam Ibnul Jauzy yang juga mengkritik imam Al Ghazali juga memujinya, beliau berkata: dia telah menulis kitab yang bagus, dalam bidang ushul dan cabang-cabangnya, yang dengan bagus dia tulis sendiri, dia susun sendiri, dan dia jelaskan sendiri. [9]

            Imam Ibnu Taimiyah, yang termasuk keras dalam mengkritik imam Al Ghazali pun, turut memuji keilmuanya, berkata imam Ibnu Taimiyah tentang kitab Ihya Ulumiddin imam Al Ghazali: sesungguhnya di dalam kitab itu, lebih banyak manfaatnya  dan pada yang tidak diterima.[10]

            Jadi setiap orang itu ada yang memujinya dan ada yang mengkritiknya, sebagaimana pada setiap orang, ada perkataannya yang mesti diambil dan ada pula yang ditinggal. Seperti yang dikatakan imam malik:
كل كلام يؤخذ ويترك إلا صاحب هذا القبر
Setiap perkataan ada yang bisa diambil dan ada yang ditinggalkan, kecuali perkataan orang yang ada di dalam kuburan ini (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam).

            Sebagaimana yang mengkritik imam Al Ghazali, begitu juga ada yang mengkritik imam Ibnu Taimiyah, ada juga yang mengkritik tokoh-tokoh, atau ulama-ulama lainya, tetapi mereka mengkritik sesuai koridor dan batasan yang berlaku sebagaimana yang sudah dijelaskan syaikh Yusuf Al Qordhowi di dalam kitabnya. Bahkan tidak jarang juga kita dapati mereka pun memuji disatu sisi yang lain. Dan kita dapati imam Al Ghazali juga mengkritik orang lain, yaitu para filsuf yang hidup di zamanya, dengan menulis sebuah buku yang berjudul Tahafut Al Falasifah, “kerumunan para ahli filsafat”, yang mana di dalam kitab ini imam Al Ghazali mengkritik mereka atas ilmu filsafat yang mereka miliki, yang mereka gunakan untuk membahas permasalahan-permasalahan ilahiyyat yang tidak memiliki dasar, dan hanya bermodalkan akal.

            Maka posisi kita sebagai orang awam adalah selalu memuliakan para ulama, karena mereka adalah pewaris Nabi, mengikuti mereka dalam hal yang kita sesuai dengannya, atau meninggalkan tanpa menghinanya dengan mengikuti ulama yang lain. Karena para ulama itu pewaris para Nabi,tetapi mereka tidak maksum. Dalam berijtihad, para ulama apabila benar ia mendapat dua pahala, apabila salah ia mendapat satu pahala. 

Wallahu ‘alam
           
           




           
           
           





[1] Kitab Siyar ‘Alam An Nubala, hal: 322/19
[2] Kitab Siyar ‘Alam An Nubala, hal: 323/19

[3] Kitab qimatuzzan indal ulama, hal:229
[4] Kitab Al Ghazali bain Maadihihi wa Naaqidihi, hal:39
[5] Kitab Al Ghazali bain Maadihihi wa Naaqidihi, hal: 21

[6] Kitab Al Ghazali bain Maadihihi wa Naaqidihi, hal: 37
[7] Hal: 13
[8] Kitab Al Ghazali bain Maadihihi wa Naaqidihi, hal: 20
[9] Kitab Al Ghazali bain Maadihihi wa Naaqidihi, hal: 20
[10] Kitab Al Ghazali bain Maadihihi wa Naaqidihi, hal: 21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAQASHID CINTA

Pelajaran dari masa lalu